KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam
semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan tema “Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati ulama” yang
sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud
dan tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu dari
sekian kewajiban mata pelajaran Fiqh serta merupakan
bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Demikian
pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya
penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan,
sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jala hingga dalam penulisan
dan penyusunnnya masih jauh dari kata sempurna. Akhirnya penulis hanya bisa
berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini
adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi
penulis, dan pembaca. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Penulis,
1 November 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam
adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang
harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum
memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
Islam
sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna,
yang disampaikan melalui Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al
Kariim. Kemudian sumber hukum agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang
kita kenal dengan Hadits. Al Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi
pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Namun,
seiiring dengan berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang tidak terdapat
solusinya dalam Al Qur’an dan Hadits. Oleh karena, itu ada sumber hukum agama
islam yang lain, diantaranya Ijma dan Qiyas. Namun, Ijma dan Qiyas tetap
merujuk pada Al Qur’an dan Hadits karena Ijma dan Qiyas merupakan penjelasan
dari keduanya.
Jika
kita menelusuri atsar-atsar ulama Salaf dan khabar-khabar ulama Khalaf sejak
masa Khulafaur Rosyidin hingga masa kini tidak kita dapati seorang imam
mujtahid pun bahkan seorang muslim yang awam yang mempunyai sebesar dzarrah
keimanan pada hatinya yang mengingkari kewajiban untuk berpegang teguh pada As
Sunnah dan berhujjah dengannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun
methode Ijtihad yang akan kami bahas dalam makalah ini:
1. Istihsan
2. Istishab
3. Mashalih
Al-Mursalah
4. Al-Urf
5. Syar’u
Man Qablana
6. Saddu
Al-Dzari’ah
7. Madzhab
Shahabi
8. Dalalat
Al-Iqtiran
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Menurut
bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang
baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar dalil syara’. Jadi singkatnya, istihsan adalah
tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.Istihsan adalah
salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan
Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para
ulama sebagai sumber hukum Islam. Istihsan adalah salah satu
metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya.
Yang
dikehendaki Istihsan adalah suatu kondisi yang itu berada di tengah-tengah di
antara dua ketentuan. Seolah-olah jika dilihat dari satu sisi, maka hukum yang
lebih cocok adalah A, tetapi jika dilihat dari sisi yang lain lagi, maka
kelihatan hukumnya yang lebih sesuai adalah B. Di dalam bahasa ulama, bahwa
Istihsan itu adalah: mutarajidayni bayna ashlayni, yaitu adanya kemungkinan
bisa kembali kepada dua sumber hukum yang berbeda. Misalkan ada suatu kasus
yang jika diqiyaskan kepada suatu ayat, maka hukumnya adalah haram, tetapi jika
diqiyaskan dengan ayat yang lain lagi, maka hukumnya menjadi berbeda lagi.
Dalam kasus ini, tidak ada ayat Alquran yang jelas-jelas menunjukkan, juga tak
ada Hadis ataupun Ijma’ ulama yang menunjukkan itu, Qiyas pun ada dua
kemungkinan. Sehingga dalam kasus seperti ini digunakanlah Istihsan.
2. Macam-macam Istihsan
a. Menguatkan qiyas khafy atas
qiyas jaly dengan dalil. Misalnya wanita yang sedang haid boleh membaca
Al-Quran berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
b. Pengecualian sebagian hukum
kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan
diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya
tidak ada pada waktu akad
3. Kedudukan Istihsan sebagai
Sumber Hukum Islam
a. Jumhur ulama menolak
berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan
hukum berdasarkan hawa nafsu
b. Golongan hanafiyah
membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan
istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly
c. Fuqaha hanafiyah maupun
malikiyah baru memakai istihsan apabila penerapan hukum berdasarkan qiyas jaly
itu mengakibatkan kejanggalan dan ketidakadilan.
Menurut
Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada
hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari
kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap
qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya
yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari
isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut
dengan segi Isthisan”.
B. ISTISHAB
1. Pengertian Istshab
Yang
dimaksud dengan istishab adalah mengmbil hokum yng telah ada atau ditetapkan
pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa masa selajutnya sebelum ada
hukumyang mengubahnya. Misalnya: Ahmad menikahi Fatimah secara sah.
Setelah itu Ahmad meninggalkan istrinya itu tanpa proses perceraian yang sah.
Dalam keadaan Fatimah ditinggalkan suaminya itu ada seorang yang ingin
menikahinya, yaitu Al-Ghazali. Keinginan Al-Ghazali untuk menikahi Fatimah
tidak dapat dilaksanakan karena Fatimah menurut status hukumnya adalah istri
Ahmad. Selama belum ada buktih bahwa Fatimah telah dicerai oleh Ahmad maka
statusnya tetap sebagai istri Ahmad.
2. Macam macam Istishab
a. Istishab al ibahah al
ashliyah
Istishab yang didasarkan atas
hukum ashal dari sesuatu yang mubah, suatu makanan/tindakan akan dianggap
selalu halal/boleh dilakukan/ dimakan menurut hukum aslinya selama tidak ada
dalil yg melarang.
b. Istishab al bara ah al
ashliyah
Istishab yg di dasarkan atas
prinsip bahwa padadasarnya setiap orang bebas dari tuntutan hukum
taklifi., seseorang akan dianggap bebasdari kesalahan/ hutang selama adabelum
ada bukti yang mengubahnaya
c. Istishab al hukum
Didasarkan atas tetapnya status
hukum yg sudah ada selama tidak adabukti yang mengubahnya contoh seseorang yang
jelas menikah /aqad nikah dengan seorang wanita maka si wanita tetap dianggap
sebagaiseorang istri sebelum ada yang mengubanya/ cerai
d. Istishab al wasf
Yang didasarkan atas anggapan
masih tetapnya sifat yng diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yg
mengubahnya, air yang di anggap bersih tetap dinggap bersi sebelum ada yang
mengubahnya.
Manurut
ulama’ ushul fiqih sspakat tentang tiga macam istishab yang telah dikemukan,
tetapi mereka berbeda pendapat pada istishab yang ke empat/istishab al wasf,
kalangan Syafiiah dan Hanabilah sepakat mengunakan secar penuh sedangkan
Malikiyah dan Hanafiyah bahwa Istishab al wasf hanya berlaku untuk
mempertahankan haknya bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
3. Kedudukan Istihsan sebagai
Sumber Hukum Islam
a. Menjadikan istishab sebagai
pegangan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an,
As-Sunah maupun ijma’. Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Syafi’iyah,
Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama Hanafiyah
serta ulama Syi’ah.
b. Menolak istishab sebagai
pegangan dalam menetapkan hukum. Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah
ulama Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan pengertian seperti di
atas adalah tanpa dasar.
C. MASHALIH AL-MURSALAH
1. Pengertian Mashalih
Al-Mursalah
Mashalih bentuk
jamak dari masalah, yang artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah
berarti terlepas. Dengan demikian maslahah al-mursalah berarti
kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada
kemaslahatan , yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas
mereka, sedangkan dalam syara’(nash) belum atau tidak ada ketentuannya. Al-Khawarizmi
menyatakan bahwa maslahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolak
mafsadat (kerusakan) atau mudharat dari makhluk.
Contoh mashalih mursalah
misalnya, dalam mensya’riatkan adanya penjara, diceritakan mata uang,
ditetapkan pajak penghasilan dan yang diadakan berdasarkan keperluan
dalam kehidupan.
2. Kedudukan Mashalih Mursalah
Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat
mengenai mashalih al-mursalah sebagai sumber hukum.
a. Jumhur yang menolaknya
sebagai sebagai sumber hukum, dengan alasan:
ü Bahwa dengan nash-nash dan
qiyas yang dibenarkan, syar’iat senantiasa memperhatiakan kemaslahatan
umat manusia. Tak ada satu pun kemaslahata manusia yang tidak diperhatikan oleh
syari’at melalui petunjuknya.
ü Pembinaan hukum Islam yang
semata-mata didasarkan kepada maslahat yang tidak didukung dengan dalil-dalil
dari nash berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
ü Akan melahirkan perbedaan
hukum akibat perbedaan wilayah/Negara, bahkan pendapat perorangan dalam satu
perkara, karena perbedaan masyarakat tadi.
b. Imam Malik memperbolehkan
berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’I boleh berpegang
kepada mashalih al-mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau
dalil juz’iy dari syara’. Pendapat kedua ini berdasarkan:
ü Kemaslahatan manusia selalu
berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya
pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari Syar’I (Allah), tentu
tidak ada status hukumnya pada masa dab tempat yang berbeda-beda.
ü Para sahabat dan tabi’in
serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang
tidak ada petunjuknya dari syar’i. Misalnya, membuat penjara, mencetak uang,
mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.
3. Syarat-syarat Berpegang
Kepada Mashalil Al-Mursalah
a. Maslahat itu harus jelas dan
pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
b. Maslahat itu bersifat umum,
bukan untuk kepentingan pribadi.
c. Hukum yang ditetapkan
berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang
telah ditetapkan dengan nash atau ijma’.
D. Al-Urf
1. Pengertian Al-Urf
Yang
dimaksud dengan ‘urf ialah segala sesuatu yang sudah
dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat secara turun-temurun dan sudah
menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan (qauly) maupun perbuatan (‘amaly).
Ahli-ahli syar’I bahwa antara adat-istiadat dengan ‘urf amalan itu tidak
ada bedanya. Contoh ‘urf amali adalah jual beli yang dilakukan berdasarkan
saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat yang diucapkan. Contoh ‘urf
qauly ialah orang telah mengetahui bahwa kata al-rajul itu untuk laki-laki
bukan untuk perempuan.
Urf
berbeda dengan ijma’ karena ‘urf terjadi berdasarkan kebiasaan-kebiasaan
yang dialami oleh orang-orang yang berbeda tingkatan mereka. Sedangkan ijma’
bentuk dari persesuaian pendapat khusus dari kalangan mujtahid. Dalam ‘ijma’
orang-orang umum tidak ikut dalam pembentukannya.
2. Pembagian ‘Urf
‘Urf dapat dibagi atas
beberapa bagian.Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan
‘urf ‘amaliy :
a. ‘Urf qauliy
Ialah ‘urf yang berupa
perkataan, seperti kata walad (وَلَدٌ). Menurut bahasa, walad berarti anak, termasuk di dalamnya anak
laki-laki dan perempuan. Namun dalam kebiasaan sehari-hari biasa diartikan
dengan anak laki-laki saja.
b. ‘Urf ‘amaliy
Ialah ‘Urf yang berupa
perbuatan. Contohnya seperti jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan
shigat atau ijab qabul. Padahal menurut syara’, iajb qabul merupakan salah satu
dari rukun jual beli. Tetapi dikarenakan telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang negatif, maka syara’ membolehkannya.
Adapun ditinjau dari segi
ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash:
a. ‘Urf ‘amm
Ialah suatu tradisi atau
kebiasaan yang berlaku pada masyarakat luas, tidak dibatasi oleh kedaerahan
ataupun wilayah. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A menyebutkan dalam bukunya
bahwa ‘urf ‘amm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian
besar wilayah masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya seperti kebiasaan masyarakat secara umum yang menggunakan uang
kertas sebagai alat tukar dalam jual beli, ataupun kebiasaan masyarakat yang
memuliakan setiap orang yang mempunyai kelebihan di antara masyarakat tersebut.
b. ‘Urf Khash
Ialah suatu tradisi atau
kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di wilayah tertentu.
Contohnya seperti dalam hal pernikahan, tradisi suku Batak adalah tidak
bolehnya menikah laki-laki dan perempuan yang semarga, dikarenakan mereka
menganggap antara laki-laki dan perempuan itu masih mempunyai pertalian
darah. Adapun kebiasaan sebagian bangsa Arab, menikahkan anaknya dengan anak
saudara laki-lakinya adalah lebih utama, dikarenakan pernikahan itu akan
membuat hubungan kekeluargaan lebih rapat.
Selanjutnya ditinjau dari
segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid:
a. ‘Urf Shahih
Ialah suatu tradisi
atau kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Hadits, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan
kewajiban. Contohnya seperti tradisi masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya,
menggunakan kain sarung dan kopiah/peci untuk shalat. Ataupun tradisi
masyarakat membuat kue-kue ketika hari raya Islam, membawa kado atau hadiah
pada acara walimatul ‘ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain.
b. ‘Urf Fasid
Ialah suatu tradisi
atau kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits,
serta menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.
Contohnya
seperti tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di kuburan atau di
tempat-tempat angker lainnya. Hal tersebut merupakan kemusyrikan dan sangat
bertentangan dengan dalil syara’, kebiasaan yang seperti inilah yang harus
diberantas dan tidak dapat dijadikan panutan. Ada pula seperti tradisi sebagian
masyarakat yang merayakan hari ulang tahun seseorang seperti perayaan yang
biasa dilakukan oleh orang-orang kafir. Ataupun adat kebiasaan masyarakat yang
sering kita lihat pada saat adanya event-event akbar seperti piala dunia, di
mana orang-orang saling bertaruh menentukan siapa pemenang ataupun yang kalah.
E. SYAR’U MAN QABLANA
1. Pengertian Syar’u Man Qoblana
Para
ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita (Syar’u Man Qoblana) ialah
hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh
para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat
sebelum adanya syariat Nabi Muhammad SAW.
2. Pemabagian dan Hukum Syar’u
Man Qablana
Secara garis besar syari’at
sebelum kita dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
a. Apa yang disyari’atkan kepada
mereka juga ditetapkan kepada kita umat Nabi Muhammad saw. Baik penetapannya
itu melalui perintah melaksanakan melaksanakan seperti puasa, maupun melalui
kisah seperti qishash.
b. Apa yang disyari’atkan kepada mereka tidak disyari’atkan lagi
kepada kita. Misalnya: Dosa orang jahat ini tidak akan terhapus selain membunuh
dirinya sendiri. Dan pakaiaan yang terkenah najis harus dipotong pada bagian
yang terkena najis tersebut.
c. Apa yang disyari’atkan terdahulu itu dikisahkan dalam Al-Qur’an,
akan tetapi, tidak dinyatakan secara jelas oleh syari’at Nabi Muhammad saw.
Bahwa syariat terdahulu itu wajib diikuti umat islam atau tidak. Maka para
ulama berbeda pendapat
Menurut
jumhur ulama yang terdiri dari jumhur ulama yang terdiri dari jumhur jumhur
Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, menetapkan bahwa hukum
tersebut telah diberiakan kepada umat sekarang dengan kisahnya. Sementara
sebagian yang lain tidak mewajibkan mengamalkannya. Sebab jika wajib, maka
tentunya perintah tersebut akan dicantumkan secara jelas.
F. SADDU AL-DZARI’AH
1. Pengetian Saddu Al-Dzari’ah
Menurut
bahasa saddu berarti menutup dan dzara’I kata jama’ dari dzari’ah berarti
“Wasilah atau jalan”. Jadi artinya menutup jalan. Sedang menurut
istilah ialah “menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Yang
dimaksud dengan saddu al-dzari’ah ialah Artinya “mencegah/menyumbat
sesuatu ygang menjadi kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan
seseorang pada kerusakan”.
Maksudnya
ialah menyumbat segala sesuatu yang akam menjadi jalan menuju kerusakan.Oleh
karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya
kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah/disumbat agar tidak
terjadi kerusakan
Pada
dasarnya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi
akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
a. Perbuatan yang akibatnya
menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur di belakang pintu
rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh
kedalamnya.
b. Perbuatan yang jarang
berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak menimbulkan
bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat
khamar adalah nadir (jarang terjadi)
c. Perbuatan yang menurut dugaan
kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula
dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat
disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib
mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin,
sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu
yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur untuk
dibuat khamar, hukumnya haram.
d. Perbuatan yang lebih banyak
menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan
itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai
bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah
ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan
haram
2. Kedudukan Saddu Al-Dzari’ah
Sebagai Sumber Hukum
Para ulam berbeda pendapat
mengenai kedudukan saddu al-dzari’ah ini sebagai sumber hukum:
a. Menurut Imam Maliki dan para
pengikutnya bahwa sad al-dzari’ah dapat dijadikan sumber
hukum, sebab sekalipun mubah akan tetap, dapat mendorong dan membuka
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Yang pasti menjerumuskan kepada
maksiat bukanlah termasuk saddu al-dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab
perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada
maksiat, itulah yang termasuk saddu al-dzari’ah.
b. Munurut Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’I, bahwa sad al-dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena
sesuatu yang memnurut hukum asalnya mubah, tetapi diperlakukan sebagai yang
mubah. Dalam sebuah hadits, Nabi saw mengatakan:
G. MADZHAB
SHAHABI
1. Pengertian Madzhab Shahabi
Yang
dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW tentang
suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah.
Sedangkan
menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab
shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa
sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak
terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan
mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat
secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, dimanan pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil
kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara
keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu
pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan
mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.
2. Kedudukan Madzhab Shahabi
Sebagai Sumber Hukum
Menurut pendapat para sahabat
dibagi 3 yaitu :
a. Mazhab Shahabi yang
berdasarkan sunah rasul wajib ditaati. Sebab hakikatnya ini merupakan sunnah
Rasul.
b. Mazhab Shahabi yang
berdasarkan ijtihad dan sudah mereka sepakati (ijma’ Shahabi) dapat dijadikan
hujjah dan wajib ditaati. Sebab mereka disamping dekat dengan Rasul mereka mengatahui
rahasia rahasia tasyri’ dan mengatahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa
yang sering terjadi. Seperti kasus pembangian warisan, nenek mendapat
bagian 1/6.
c. Mazhab Shahabi yang tidak
mereka sepakati tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak wajib ditaati. Imam
Syafi’i menyatakan tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan
sahabat untuk dijadikan hujjah,’ sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan
kepada ra’yu dan diantara sahabat sendiri juga berbeda pendapat.
H. DALALAT AL-IQTIRAN
1. Pengertian Dalalat Al-Iqtiran
Yang
dimaksud dengan dalalat al-iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan
hukum terhadap sesuatu yang dsisebutkan bersama dengan sesuatu yang lain.
2. Kedudukan Dalalat Al-Iqtiran
Sebagai Sumber Hukum.
Para
ulama berbeda pendapat menganai kedududkan dalalat al-iqtiran sebagai sumber
hukum:
a. Jumhur ulama berpendapat
bahwa dalalat al-iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah, sebab bersama dalam satu
susunan tidak mesti bersama dalam hukum.
b. Abu Yusuf dari golongan
Hanafiyah, Ibnu Nashr dari golongan Malikiyah dan Ibnu Ibn Abu Hurairah dari
kalangan Syafi’iyah mernyatakan dapat dijadikan hujjah. Alasan mereka bahwa
sesungguhnya ‘athf itu menghendaki musyarakat;
BAB III
P E N U T U P
A. KESEMPULAN
Dari
pembahasan di atas maka dapat dipahami bahwa tidak semua Ulama sepakat untuk
mengambil dan mengikkuti Madzhab Shahabat sebagi hujjah dalam
menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad
Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil Madzhab Shahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum,
terutama Imam Madzhab yang empat (Imam, Maliki, Imama Hanafi, Imam Syafi’i, dan
Imam Hanbali).
Kemudian,
alasan Ulama menggunakan pendapat Shahabat sebagai hujjah, mereka
berdasarkan beberapa dalil baik naqli maupan aqli. Salah satu di antara dalil
tersebut adalah: Firman Allah SWT. Yang Artinya : “Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah”. (At-Taubah : 100).
Dan
juga dalil aqli, yaitu: “Para Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada
Rasulullah SAW. dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui
tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu
turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan
yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di
mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu,
fatwa-fatwa mereke lebih layak untuk diikuti”.
Juga
dikatakan bahwa: Pendapat Shahabat tidak menjadi hujjah atas
Shahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan
ialah, apakah pendapat Shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi’n.
Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah:.
1. Satu pendapat mengatakan
bahwa Madzhab Shahabat dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal
dari Imam Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu
juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad
Bin Hanbal dalam salah satu riwayat.
2. Satu pendapat
mengatakan bahwa Madzhab Shahabat secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar
hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i
dalam madzhabnya yang jadid juga Abul Hasan Al-Kharha dari
golongan Hanafiyah.
3. Ulama Hanafiyah,
Imam Malik, Qaul Qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari
Imam Ahmad Bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah dan
apabila pendapat shahabat bertentangan dengan qiyas maka
pendapat shahabat didahulukan. Wallahu a’lam
B. SARAN
Penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami berharap semoga makalah ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi agar
teman-teman bisa membuat makalah yang lebih sempurna.
Manusia
dalam berbuat tentunya terdapat kesalahan yang sifatnya tersilap dari yang
telah ditetapkan atau seharusnya. Apalagi dalam kegiatan menyusun makalah ini.
Untuk itu, penulis harapkan dari pembaca, khususnya kepada Ibu Mata Pelajaran
FIQIH yaitu Ibu MAHADA, S.Ag mohon kritik dan sarannya
guna perbaikkan penyusunan selanjutnya
PUSTAKA
https://apit2009065.wordpress.com/ihtihsan-istihab-mashalih-murshalah-saddus-djariah/
http://kaharmusakkar97.blogspot.co.id/2015/03/makalah-hudud-dan-hikmahnya.html
Suparta, Mundzier dan
Zainuddin, 2008 Djedjen Pendidikan Agama Islam FIKIH ,
Semarang: PT. Karya Toha Putra